Kamis, 01 November 2018

Senja Kemarin


Kau tahu? Seseorang yang telah membawaku jauh dari masa lalu bahkan mencungkil pikiran hingga semua orang menduga semuanya telah lenyap adalah kau. Aku hanya ingin mencintai dengan segala keseharian kita yang bisa meledakkan gedung rektorat, Gana.

Sekiranya itu adalah sederetan kata dengan makna tersirat yang besar bagiku. Jam dinding cukup gemuk dengan berbagai puisi yang telah kubentuk sejak fajar melambaikan tangannya. Kini aku siap untuk mempersembahkan tugas akhirku. Aku bersolek dan memperhatikan setiap inci lekuk tubuh, mereka berkata ini terlihat seperti gitar Spanyol dengan senar yang rusak. Aku tahu itu adalah buah pengucilan, tapi abaikanlah semuanya karena cinta tidak akan memandang barang cacat sedikitpun. Sinar yang menyehatkan kulit wanita muda sudah menusuk sampai ke tulang belulang dan aku siap untuk bertemu dengannya.

“Bagaimana dengan tugasmu? Sudahkah?”

“Dikau perawan idamanku, tak bosan berkata sedemikian?”

Telingaku rasa pecah mendengar perkataannya. Lidahku terasa mengangkat ingin menancapkan kebencian pada kata ‘sedemikian’.

“Gama, kita beranjak dan merangkap ke dalam almamater baru. Kita masih bersih. Jangan kau nodai jurnal Dosen dengan ketidakcakapanmu dalam mengerjakan tugas-tugasnya.”

Gama Kusala sudah beberapa kali tertangkap oleh pupil mataku yang mengempis sedang berdiri di ruangan Dosen dengan keadaan dimarahi. Aku tak ingat begitu sibuk kah dirinya? Seseorang yang sedang di sampingku ini akan terancam buruk di mata Dosen. Pakaiannya hampir sama halnya dengan anak Seni Rupa, begajulan. Ia terlihat lebih brengsek lagi ketika menghisap rokok dan mengepulkan asapnya, namun bagiku ini adalah hal yang keren. Aku tidak pernah mencintai perokok, tapi pengecualian untuk saat ini. Wajahnya tersirat sekali slogan ‘Aku tak ingin berkuliah di sini’. Tapi, aku tidak akan menyerah untuk membuatnya berubah dan mencintaiku.

“Kita hendak kemana? Hei, Gama?”

Suara bising pemotong rumput di pinggir taman memang sengaja membuat pendengaranku tuli. Aku mendengar perkataanmu tetapi aku mencoba bungkam dan membiarkan kau bertanya-tanya.

“Kau mau menculikku?”

“Tidak! Hahaha. Kita akan mengerjakan tugas di sini, lima belas meter diatas permukaan semen yang melegamkan warnanya.”

“Kau gila! Hahaha.”

Kami tidak mengerjakan tugas, kami terlelap di pangkuan gedung parkiran motor.

Tertawa dan tidak merasa berdosa karena telah berduaan di tempat sepi. Padahal setan bisa saja membisikkan telinga kami agar melakukan pelanggaran norma asusila. Tetapi tidak, jeratan malaikat masih hangat di pelukanku. Senja menjadi saksi dimana ruhku bahagia bila bersamanya.


***
Parfumnya masih terngiang dalam endusanku, ia sungguh anugrah terindah yang telah Tuhan ciptakan. Namun, tak tertepiskan olehku perubahannya pun terjadi setelah aku terlalu menuntut ia untuk mencintaiku.

“Gana, tolong. Argh! Tahan tangismu, aku tak bisa memungkiri bahwa aku masih berhubungan dengannya. Tiada maksud mendustakan segalanya. Kau harus percaya padaku”

“Apa jaminanku untuk percaya padamu?”

“Beri aku kesempatan untuk menetralisir perasaan, bisa?”


***
Lembaran hari kian kulewati dengan perasaan gundah, apa aku akan melepaskan dan berlayar lagi? Seolah dunia tidak berpihak padaku, aku memilih untuk lenyap dari hadapannya. Teman, penjaga karcis parkiran hingga pelayan kantin membuatku sedih dengan melontarkan tanya yang membuatku seperti tergores.

“Gana?”

“Kau ingin meyakinkan aku bahwa ia telah berusaha sehebat mungkin untuk melupakan perempuan itu? Tidak mungkin, Saras. Tampar diriku, potong saja cuping hidungku atau kau ingin aku merobek luka lama?”

Saras menangis.

Aku memeluknya. Aku tahu ia hanya ingin aku yakin bahwa laki-laki yang bersamaku adalah pelabuhan yang tepat. Ia mungkin lelah mendengar hatiku berlayar dan terbawa ombak bahkan rusak tertimpa arus.

“Aku hanya tidak menginginkan diriku terbawa lagi, Saras. Kau tahu? Lima tahun aku menjalin cinta dengan berbagai macam laki-laki, tidak ada satu pun yang menghargai perasaanku. Mereka semua picik! Aku hanya benci dengan kegagalanku dalam percintaan. Aku tak ingin Gama memberikanku tawa palsu. Sederet senyum tanpa arti. Ia masih mencintai perempuan lain. Aku menjaga diri dari ledakan amarah dan pantulan perih.”

“Tapi, kau harus tahu bahwa Gama menyakinkan diriku. Ia menunjukkan sikap skeptis terhadap kekasih lamanya, ia mungkin terjebak oleh torehan racun pada kata-kata. Percayalah, ia akan segera melupakan gadis itu. Dan aku adalah saksi dimana ia mencintaimu dengan segera.”

Aku tidak yakin, Saras. Setahuku, laki-laki mana pun akan sulit melupakan wanita yang selalu menghiasi tidur dalam malamnya. Baik fajar yang menyambut atau pun langit yang menggelapkan jalannya menuju ranjang, ia akan tetap mencintai wanita itu. Haruskah yakin?



***
Tubuhku melemah, aku seperti minum berbotol-botol alkohol. Aku mencoba dengan sekuat tenaga membuka kelopak mataku, tetapi ini begitu berat. Sayup suara Gama terdengar sekali, aku ingin melihat wajahnya.

“Ssstt... Istirahat lah wahai gadis yang selalu hidup dalam puisi-puisiku”

Ia menempelkan jari telunjuknya pada bibirku.

Aku terlalu lemah untuk membalas kata-kata indahnya itu. Aku hanya ingin mengetahui mengapa diriku berbaring dengan lemah. Entah ranjang siapa yang kutiduri semalaman, seingatku aku hanya tidak makan selama seharian penuh.

Gama adalah laki-laki baik, aku mencintai dirinya yang bertutur lembut dan menghargai perasaan wanita. Dengan ketidakberdayaanku, Gama hanya segelintir manusia yang mengisi setiap arungan kapalku. Aku hanya bungkam dalam keraguanku. Bukan untuk membatasi diriku dari jatuh cinta, hanya saja beberapa diantaranya sudah membuat luka menganga dalam kesetiaan. Satu hal yang paling kusanjungi adalah rasa pedulinya tanpa pandang bulu.

Aku bisa merasakan tangan Gama menyentuh halus wajahku, begidik terasa kencang pada permukaan lengan. Aku takluk dalam buaiannya.


***
Beberapa hari setelah itu, aku kembali menjalani rutinitasku. Gama, sosok yang sempat lenyap dalam indera penglihatanku sekarang semakin sering muncul. Ia berkata ‘Aku tak ingin kau kenapa-napa’. Aku seolah terbawa dalam kata-katanya, aku membiarkan ia menjagaku. Senja itu kembali menyapa kami, tetapi kini kami berada dalam sebuah selasar yang cantik. Pendopo jurusan adalah markas baru kami, tempat ditumpahkannya kenangan.

“Aku ingin berbicara sedikit mengenai kita.”

“Mengapa kau menggunakan kata ‘kita’ dalam pembahasan kali ini?”

“Gana, bantu aku dalam mengerjakan tugas. Aku sudah diincar oleh dosen kesayanganmu. Ia berperut tambun dan berbadan besar, aku takut Gana. Aku takuuut! Hahaha.”

Ia mencubit lenganku. Aku membalasnya dengan tertawa, lalu kugenggam tangannya dengan lembut.

“Gama Kusala, anak Sastra Indonesia yang menyebalkan tapi dirindukan, dengarkan aku. Nama kamu aja udah mewakili sifat, Kusala dalam bahasa Sanskerta berarti malas. Ya, aku sih mewajarinya saja. Hahahaha.”

“Oke.. Kali ini saya mengaku kalah tuan putri, aku mau kita berbicara serius saat ini.”
Aku memperhatikan wajahnya yang mencoba menjadi menakutkan, tapi aku akan tahu bahwasannya ia tak mampu.

“Gana, gadis berambut hitam yang selalu mengisi kekosongan relung jiwa. Kau adalah puisi di dalam setiap ceceran tinta yang melegamkan masa. Aku mencintamu bagai secercah harap yang dihempaskan awan, aku mengalah pada hujan. Batuan rasa yang kian menumpuk kala senja kemarin menyinari, tak bisa membuatku meraup getir baru. Gelanggang pasak pada onggok kapalmu acapkali kunaiki, aku tertimpa ombak. Dan kembali pada pesisir senja yang mengantungi kenangan.”

“Artinya?”

“Aku masih belum bisa untuk fokus terhadap hatiku, Gana.”

Aku tekulai lemas dipelukan Gama. Pendopo itu dibanjiri oleh luka hatiku, ia kembali bocor. Firasatku berkata benar, bahwa tak mungkin rasanya kau menggenggam lembar baru jika masih ditimpa oleh senja lalu. Aku melepaskan segala yang aku rasakan. Sakit mengingat segala hal yang telah dilalui bersama jika pada akhirnya kau tidak bersama dengan orang yang menerbangkan dirimu hingga lupa pada kata-kata sedih. Gama Kusala, ia berkata bahwa aku adalah gadis dalam puisi-puisinya. Itu terdengar seperti kebusukan dunia yang amat menyempitkan pangkal tenggorokan. Bagaimana bisa seseorang yang baru kau kenal di awal semester ganjil sudah mengatakan hal tersebut dengan gamblangnya? Terlebih lagi ia masih tergenang pada luka lamanya. Isakanku terbilang keras dengan kegelapan dan kehangatan yang kurasa mengelitikku, teman-temannya berbela sungkawa atas perasaan yang gagal menghijau di tanah baru.

“Gana, maafkan aku.”

Aku mengambil tasku dan membersihkan lantai dari buku-buku dan alat tulis yang berserakan. Aku pergi dengan tanpa tujuan, aku hanya ingin menangis.

Bagaimana bisa semua ini adalah sandiwara belaka? Bagaimana bisa ia tidak mencintaiku padahal aku telah lama menunggunya mengucapkan hal tersebut. Sosok yang setiap malam selalu berkonsultasi mengenai tugas dan menghiburku dikala sedih dengan tugas-tugas, tidak bisa kubayangkan semua itu hanya sebatas kenangan. Aku tak bisa bertemu dengannya. Mendengar namanya pun seperti ingin menangis. Tawanya masih melengking jelas di telingaku, hangat pelukannya, perhatiannya, rasa toleransinya, kepulan asapnya. Semua itu akan ku rindukan. Rasanya akan berbeda jika kita bersatu dalam keadaan perasaan yang hancur.

Aku mendengar derap sepatu bertabrakan dengan ubin, ia terdengar seperti tercabik-cabik.

“Mengapa kau mengejarku?”

“Gana Harsika, aku meminta maaf. Aku tidak bisa mencintaimu tetapi beberapa hari tidak bertemu denganmu seakan ada yang hilang. Aku merasa bodoh masih bisa menyayangi yang tidak sepatutnya kuberi kasih. Gana, maukah kau menerimaku kembali? Aku ingin kita yang dahulu...”

“Iya, yang merajut kenangan dengan begitu banyak dan kau dengan lancangnya merobek hingga berkeping-keping? Iya?!”

“Gana..”

Aku memegang erat tangannya, mengelus lembut wajahnya. Gama adalah sosok yang ku cintai, aku tak bisa membencimu. Aku menggenggam tangannya dan menaruh tepat di dada.

“Kamu harus tahu bahwa rasa cinta itu dihasilkan dari sini, begitu pula dengan ikhlas. Aku tidak bisa memaksakan hati yang masih milih orang lain, ia akan tersakiti olehnya.”

“Gana, ku akui aku telah salah membuat dirimu hancur berkeping. Tapi izinkan lah...”

Aku mengecup bibirnya, melumat hingga habis. Kami berpagutan dalam sedih. Seperti dua orang yang akan pergi jauh.

“Maaf, Gama. Aku tidak bisa meneruskan sandiwara ini lagi. Kau seolah-olah mencintai, tetapi tidak bisa. Aku hanya ingin kau dengan yang seharusnya. Hatimu bukan untuk Gana Harsika tetapi untuk orang lain.”

Aku berlari. Sejauh yang kubisa, sekuat kakiku menopang. Aku belajar satu hal; semakin sering aku menggunakan hatiku dalam setiap masa penjajagan, semakin sering pula aku belajar. Bahwa hujan akan meninggalkan genangan, begitu pula dengan aku dan Gama. Kita meninggalkan kenangan yang bertebaran dimana-mana, di segala penjuru Universitas.

Mungkin orang-orang akan merasa aneh dengan kami yang dulu selalu bersama dan kini terpisah. Aku tidak bisa memaksakan kehendak hati seseorang. Jika ia telah dimiliki oleh orang lain, ia akan tetap berada di sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar