Kau tahu? Seseorang yang telah membawaku jauh dari
masa lalu bahkan mencungkil pikiran hingga semua orang menduga semuanya telah
lenyap adalah kau. Aku hanya ingin mencintai dengan segala keseharian kita yang
bisa meledakkan gedung rektorat, Gana.
Sekiranya itu
adalah sederetan kata dengan makna tersirat yang besar bagiku. Jam dinding
cukup gemuk dengan berbagai puisi yang telah kubentuk sejak fajar melambaikan
tangannya. Kini aku siap untuk mempersembahkan tugas akhirku. Aku bersolek dan
memperhatikan setiap inci lekuk tubuh, mereka berkata ini terlihat seperti
gitar Spanyol dengan senar yang rusak. Aku tahu itu adalah buah pengucilan,
tapi abaikanlah semuanya karena cinta tidak akan memandang barang cacat sedikitpun.
Sinar yang menyehatkan kulit wanita muda sudah menusuk sampai ke tulang
belulang dan aku siap untuk bertemu dengannya.
“Bagaimana
dengan tugasmu? Sudahkah?”
“Dikau perawan
idamanku, tak bosan berkata sedemikian?”
Telingaku rasa
pecah mendengar perkataannya. Lidahku terasa mengangkat ingin menancapkan
kebencian pada kata ‘sedemikian’.
“Gama, kita
beranjak dan merangkap ke dalam almamater baru. Kita masih bersih. Jangan kau
nodai jurnal Dosen dengan ketidakcakapanmu dalam mengerjakan tugas-tugasnya.”
Gama Kusala
sudah beberapa kali tertangkap oleh pupil mataku yang mengempis sedang berdiri
di ruangan Dosen dengan keadaan dimarahi. Aku tak ingat begitu sibuk kah
dirinya? Seseorang yang sedang di sampingku ini akan terancam buruk di mata
Dosen. Pakaiannya hampir sama halnya dengan anak Seni Rupa, begajulan. Ia
terlihat lebih brengsek lagi ketika menghisap rokok dan mengepulkan asapnya,
namun bagiku ini adalah hal yang keren. Aku tidak pernah mencintai perokok,
tapi pengecualian untuk saat ini. Wajahnya tersirat sekali slogan ‘Aku tak
ingin berkuliah di sini’. Tapi, aku tidak akan menyerah untuk membuatnya berubah
dan mencintaiku.
“Kita hendak
kemana? Hei, Gama?”
Suara bising
pemotong rumput di pinggir taman memang sengaja membuat pendengaranku tuli. Aku
mendengar perkataanmu tetapi aku mencoba bungkam dan membiarkan kau
bertanya-tanya.
“Kau mau
menculikku?”
“Tidak! Hahaha.
Kita akan mengerjakan tugas di sini, lima belas meter diatas permukaan semen
yang melegamkan warnanya.”
“Kau gila!
Hahaha.”
Kami tidak
mengerjakan tugas, kami terlelap di pangkuan gedung parkiran motor.
Tertawa dan
tidak merasa berdosa karena telah berduaan di tempat sepi. Padahal setan bisa
saja membisikkan telinga kami agar melakukan pelanggaran norma asusila. Tetapi
tidak, jeratan malaikat masih hangat di pelukanku. Senja menjadi saksi dimana
ruhku bahagia bila bersamanya.
***
Parfumnya masih
terngiang dalam endusanku, ia sungguh anugrah terindah yang telah Tuhan
ciptakan. Namun, tak tertepiskan olehku perubahannya pun terjadi setelah aku
terlalu menuntut ia untuk mencintaiku.
“Gana, tolong.
Argh! Tahan tangismu, aku tak bisa memungkiri bahwa aku masih berhubungan dengannya.
Tiada maksud mendustakan segalanya. Kau harus percaya padaku”
“Apa jaminanku
untuk percaya padamu?”
“Beri aku kesempatan
untuk menetralisir perasaan, bisa?”
***
Lembaran hari
kian kulewati dengan perasaan gundah, apa aku akan melepaskan dan berlayar
lagi? Seolah dunia tidak berpihak padaku, aku memilih untuk lenyap dari
hadapannya. Teman, penjaga karcis parkiran hingga pelayan kantin membuatku
sedih dengan melontarkan tanya yang membuatku seperti tergores.
“Gana?”
“Kau ingin
meyakinkan aku bahwa ia telah berusaha sehebat mungkin untuk melupakan
perempuan itu? Tidak mungkin, Saras. Tampar diriku, potong saja cuping hidungku
atau kau ingin aku merobek luka lama?”
Saras menangis.
Aku memeluknya.
Aku tahu ia hanya ingin aku yakin bahwa laki-laki yang bersamaku adalah
pelabuhan yang tepat. Ia mungkin lelah mendengar hatiku berlayar dan terbawa
ombak bahkan rusak tertimpa arus.
“Aku hanya tidak
menginginkan diriku terbawa lagi, Saras. Kau tahu? Lima tahun aku menjalin
cinta dengan berbagai macam laki-laki, tidak ada satu pun yang menghargai
perasaanku. Mereka semua picik! Aku hanya benci dengan kegagalanku dalam
percintaan. Aku tak ingin Gama memberikanku tawa palsu. Sederet senyum tanpa
arti. Ia masih mencintai perempuan lain. Aku menjaga diri dari ledakan amarah
dan pantulan perih.”
“Tapi, kau harus
tahu bahwa Gama menyakinkan diriku. Ia menunjukkan sikap skeptis terhadap
kekasih lamanya, ia mungkin terjebak oleh torehan racun pada kata-kata. Percayalah,
ia akan segera melupakan gadis itu. Dan aku adalah saksi dimana ia mencintaimu
dengan segera.”
Aku tidak yakin,
Saras. Setahuku, laki-laki mana pun akan sulit melupakan wanita yang selalu
menghiasi tidur dalam malamnya. Baik fajar yang menyambut atau pun langit yang
menggelapkan jalannya menuju ranjang, ia akan tetap mencintai wanita itu. Haruskah
yakin?
***
Tubuhku melemah,
aku seperti minum berbotol-botol alkohol. Aku mencoba dengan sekuat tenaga
membuka kelopak mataku, tetapi ini begitu berat. Sayup suara Gama terdengar
sekali, aku ingin melihat wajahnya.
“Ssstt...
Istirahat lah wahai gadis yang selalu hidup dalam puisi-puisiku”
Ia menempelkan jari
telunjuknya pada bibirku.
Aku terlalu
lemah untuk membalas kata-kata indahnya itu. Aku hanya ingin mengetahui mengapa
diriku berbaring dengan lemah. Entah ranjang siapa yang kutiduri semalaman,
seingatku aku hanya tidak makan selama seharian penuh.
Gama adalah
laki-laki baik, aku mencintai dirinya yang bertutur lembut dan menghargai
perasaan wanita. Dengan ketidakberdayaanku, Gama hanya segelintir manusia yang
mengisi setiap arungan kapalku. Aku hanya bungkam dalam keraguanku. Bukan untuk
membatasi diriku dari jatuh cinta, hanya saja beberapa diantaranya sudah
membuat luka menganga dalam kesetiaan. Satu hal yang paling kusanjungi adalah
rasa pedulinya tanpa pandang bulu.
Aku bisa
merasakan tangan Gama menyentuh halus wajahku, begidik terasa kencang pada
permukaan lengan. Aku takluk dalam buaiannya.
***
Beberapa hari
setelah itu, aku kembali menjalani rutinitasku. Gama, sosok yang sempat lenyap
dalam indera penglihatanku sekarang semakin sering muncul. Ia berkata ‘Aku tak
ingin kau kenapa-napa’. Aku seolah terbawa dalam kata-katanya, aku membiarkan
ia menjagaku. Senja itu kembali menyapa kami, tetapi kini kami berada dalam
sebuah selasar yang cantik. Pendopo jurusan adalah markas baru kami, tempat ditumpahkannya
kenangan.
“Aku ingin
berbicara sedikit mengenai kita.”
“Mengapa kau
menggunakan kata ‘kita’ dalam pembahasan kali ini?”
“Gana, bantu aku
dalam mengerjakan tugas. Aku sudah diincar oleh dosen kesayanganmu. Ia berperut
tambun dan berbadan besar, aku takut Gana. Aku takuuut! Hahaha.”
Ia mencubit
lenganku. Aku membalasnya dengan tertawa, lalu kugenggam tangannya dengan
lembut.
“Gama Kusala,
anak Sastra Indonesia yang menyebalkan tapi dirindukan, dengarkan aku. Nama
kamu aja udah mewakili sifat, Kusala dalam bahasa Sanskerta berarti malas. Ya,
aku sih mewajarinya saja. Hahahaha.”
“Oke.. Kali ini
saya mengaku kalah tuan putri, aku mau kita berbicara serius saat ini.”
Aku
memperhatikan wajahnya yang mencoba menjadi menakutkan, tapi aku akan tahu
bahwasannya ia tak mampu.
“Gana, gadis
berambut hitam yang selalu mengisi kekosongan relung jiwa. Kau adalah puisi di
dalam setiap ceceran tinta yang melegamkan masa. Aku mencintamu bagai secercah
harap yang dihempaskan awan, aku mengalah pada hujan. Batuan rasa yang kian
menumpuk kala senja kemarin menyinari, tak bisa membuatku meraup getir baru.
Gelanggang pasak pada onggok kapalmu acapkali kunaiki, aku tertimpa ombak. Dan
kembali pada pesisir senja yang mengantungi kenangan.”
“Artinya?”
“Aku masih belum
bisa untuk fokus terhadap hatiku, Gana.”
Aku tekulai
lemas dipelukan Gama. Pendopo itu dibanjiri oleh luka hatiku, ia kembali bocor.
Firasatku berkata benar, bahwa tak mungkin rasanya kau menggenggam lembar baru
jika masih ditimpa oleh senja lalu. Aku melepaskan segala yang aku rasakan.
Sakit mengingat segala hal yang telah dilalui bersama jika pada akhirnya kau
tidak bersama dengan orang yang menerbangkan dirimu hingga lupa pada kata-kata
sedih. Gama Kusala, ia berkata bahwa aku adalah gadis dalam puisi-puisinya. Itu
terdengar seperti kebusukan dunia yang amat menyempitkan pangkal tenggorokan.
Bagaimana bisa seseorang yang baru kau kenal di awal semester ganjil sudah
mengatakan hal tersebut dengan gamblangnya? Terlebih lagi ia masih tergenang
pada luka lamanya. Isakanku terbilang keras dengan kegelapan dan kehangatan yang
kurasa mengelitikku, teman-temannya berbela sungkawa atas perasaan yang gagal
menghijau di tanah baru.
“Gana, maafkan
aku.”
Aku mengambil
tasku dan membersihkan lantai dari buku-buku dan alat tulis yang berserakan.
Aku pergi dengan tanpa tujuan, aku hanya ingin menangis.
Bagaimana bisa
semua ini adalah sandiwara belaka? Bagaimana bisa ia tidak mencintaiku padahal
aku telah lama menunggunya mengucapkan hal tersebut. Sosok yang setiap malam
selalu berkonsultasi mengenai tugas dan menghiburku dikala sedih dengan
tugas-tugas, tidak bisa kubayangkan semua itu hanya sebatas kenangan. Aku tak
bisa bertemu dengannya. Mendengar namanya pun seperti ingin menangis. Tawanya
masih melengking jelas di telingaku, hangat pelukannya, perhatiannya, rasa
toleransinya, kepulan asapnya. Semua itu akan ku rindukan. Rasanya akan berbeda
jika kita bersatu dalam keadaan perasaan yang hancur.
Aku mendengar
derap sepatu bertabrakan dengan ubin, ia terdengar seperti tercabik-cabik.
“Mengapa kau
mengejarku?”
“Gana Harsika,
aku meminta maaf. Aku tidak bisa mencintaimu tetapi beberapa hari tidak bertemu
denganmu seakan ada yang hilang. Aku merasa bodoh masih bisa menyayangi yang
tidak sepatutnya kuberi kasih. Gana, maukah kau menerimaku kembali? Aku ingin
kita yang dahulu...”
“Iya, yang
merajut kenangan dengan begitu banyak dan kau dengan lancangnya merobek hingga
berkeping-keping? Iya?!”
“Gana..”
Aku memegang
erat tangannya, mengelus lembut wajahnya. Gama adalah sosok yang ku cintai, aku
tak bisa membencimu. Aku menggenggam tangannya dan menaruh tepat di dada.
“Kamu harus tahu
bahwa rasa cinta itu dihasilkan dari sini, begitu pula dengan ikhlas. Aku tidak
bisa memaksakan hati yang masih milih orang lain, ia akan tersakiti olehnya.”
“Gana, ku akui
aku telah salah membuat dirimu hancur berkeping. Tapi izinkan lah...”
Aku mengecup
bibirnya, melumat hingga habis. Kami berpagutan dalam sedih. Seperti dua orang
yang akan pergi jauh.
“Maaf, Gama. Aku
tidak bisa meneruskan sandiwara ini lagi. Kau seolah-olah mencintai, tetapi
tidak bisa. Aku hanya ingin kau dengan yang seharusnya. Hatimu bukan untuk Gana
Harsika tetapi untuk orang lain.”
Aku berlari.
Sejauh yang kubisa, sekuat kakiku menopang. Aku belajar satu hal; semakin
sering aku menggunakan hatiku dalam setiap masa penjajagan, semakin sering pula
aku belajar. Bahwa hujan akan meninggalkan genangan, begitu pula dengan aku dan
Gama. Kita meninggalkan kenangan yang bertebaran dimana-mana, di segala penjuru
Universitas.
Mungkin
orang-orang akan merasa aneh dengan kami yang dulu selalu bersama dan kini
terpisah. Aku tidak bisa memaksakan kehendak hati seseorang. Jika ia telah
dimiliki oleh orang lain, ia akan tetap berada di sana.